Yesterday, I had to face something that sucked up all my emotions. Kemarin... melelahkan sekali buatku. Biarkan aku jelaskan kepadamu.
Januari 2017 adalah puncak dari semua emosi campur aduk yang aku pendam selama ini. Tidak pernah menyangka kalau ternyata aku akan menghadapi masalah yang selama ini aku berusaha hindari. Ternyata usahaku tidak maksimal untuk menghindari masalah yang aku punya saat ini. Pada saatnya aku harus mengalami, aku tidak kuat. Aku bukan orang yang expert masalah ketahanan emosi.
Sampai akhirnya emosiku tumpah dan aku merasa ingin menyerah. Rasanya gejala depresi sudah aku alami dan hampir saja aku berhenti berusaha lagi. Aku capek. Capek dengan semua anggapan negatif tentang aku yang selalu orang lontarkan dengan mudah dari mulut mereka. Saat aku berusaha berpikir positif, respon negatif tetap saja aku dapatkan.
Aku sudah capek!
Aku capek berpura-pura bahwa aku baik-baik saja, bahwa semua ini akan berujung manis saat tiba waktunya. Aku capek berandai-andai tentang emasnya masa depan saat kelamnya badai masih aku rasakan. Aku capek memposisikan diriku sebagai si kalah, yang pada kenyataannya aku tidak salah.
Aku sudah capek!
Aku capek berpura-pura bahwa aku baik-baik saja, bahwa semua ini akan berujung manis saat tiba waktunya. Aku capek berandai-andai tentang emasnya masa depan saat kelamnya badai masih aku rasakan. Aku capek memposisikan diriku sebagai si kalah, yang pada kenyataannya aku tidak salah.
Sendiri. Hanya itu yang aku rasakan saat ini. Hilang arah? Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan posisiku saat ini.
Baca juga: Aku Enggan Dewasa
Tapi sungguh jahat diriku, melupakan orang-orang yang masih sayang kepadaku. Mereka yang masih dengan setia menyemangatiku walau aku berkali-kali mengeluhkan hal yang seakan sia-sia kepada mereka. Aku masih dikelilingi api yang tak pernah padam memotivasi diri. Ada satu orang di antara mereka yang selalu dan tidak pernah lelah untuk berdoa dan membimbingku menjadi pribadi yang lebih baik.
Dia adalah ibuku.
Dia adalah ibuku.
Aku sempat menangis histeris karena aku tidak tahan lagi dengan cobaan yang Tuhan berikan kepadaku. Ibu ada di sana, menenangkan, mengingatkanku untuk mengucap Istighfar, menahanku untuk berbuat sesuatu yang di luar kendaliku, dan memelukku erat sambil berkata, "Nduk... uwis nduk... uwis..." (Nak... sudah nak... sudah...).
Tangisanku tidak berhenti. Aku lanjutkan dengan makian-makian yang selama ini aku telan. Pelukan ibu terasa makin erat hingga aku akhirnya lelah menangis dan berteriak. Aku kembali ditenangkan dan pelukan ibu lepas saat aku mulai merasa lemas.
"Uwis?""Sampun...""Saiki tak kandhani ya... Ibu ora tau kecewa karo kowe. Wong liya ora tau ngerti apa wae sing mbok lakoni. Tapi ibu ngerti, ibu paham. Isih ana wektu nggo ngrampungke. Sholate aja lali, kudu luwih apik. Ditambah karo ibadah liyane. InsyaAllah Gusti Allah ngewangi. Delok wae mengko."
Baca juga: Mom's Feeling
Hatiku kembali tenang. Ritme nafasku yang tadinya tersengal-sengal, kini kembali normal.
Ibu, sudah hampir 25 tahun aku menjadi anakmu, tak pernah sekalipun aku merasa bahwa aku telah berhasil membanggakanmu. Kalau ibu harus memilih anak mana yang harus ibu beri cinta, bukan aku yang pantas jadi pilihan utama.
Kenapa ibu terus mendorongku dengan kata-kata positif? Ada ibu di luar sana yang menghinaku dengan ungkapan negatif. Tapi tidak dengamu, Bu. Ibu terus membina walau aku terus-menerus membuatmu kecewa.
Apa jadinya kalau ibu tidak ada?
Bayangan akan ketiadaan itu adalah mimpi buruk bagiku. Aku tidak mau mengimajinasikan sesuatu yang begitu menyedihkan bagiku. Tapi, Bu, bila tiba waktunya ibu tidak bersamaku lagi, aku akan mencoba ikhlas. Nyatanya bayangan itu membuatku sadar bahwa mulai saat ini aku harus selalu memberikan yang terbaik kepadamu.
Baca juga: Memory of Grandpa
Ibu, aku tidak akan berhenti hanya karena aku merasa lelah dan ingin menyerah. Because you never give up on me. Neither do I.
"A mother is the truest friend we have, when trials heavy and sudden fall upon us; when adversity takes the place of prosperity; when friends desert us; when trouble thickens around us, still will she cling to us, and endeavor by her kind precepts and counsels to dissipate the clouds of darkness, and cause peace to return to our hearts"
― Washington Irving
I love you, Mom. With all my heart.
(PS: Tulisan ini bukan karangan fiksi. Ini benar-benar aku alami hari Jumat kemarin. Semua yang aku tulis di sini menjadi bahan refleksi untuk aku dan teman-teman yang sekiranya merasakan hal yang sama. See you on the next post!)
0 Response to "Mommy's Always Right, Even When She's Wrong"
Posting Komentar